Budaya Kalteng
Beranda / Kalteng / Sembahyang Bulan 7: Tradisi Tionghoa Penuh Makna, Dari Penghormatan Leluhur hingga Derma untuk Arwah

Sembahyang Bulan 7: Tradisi Tionghoa Penuh Makna, Dari Penghormatan Leluhur hingga Derma untuk Arwah

Suasana meriah ritual Sembahyang Rampas atau Cioko di salah satu klenteng di Kota Singkawang. Warga berdesakan menyaksikan prosesi pembagian dan perebutan persembahan yang menjadi puncak tradisi pada tanggal 15 bulan 7 Imlek (Chit Nyiat Pan).Foto:Net

Jakarta, Mediagempita.com – Sembahyang Bulan 7, yang juga dikenal sebagai Festival Bulan Hantu atau Sembahyang Rebutan (Cioko/Chit Nyiat Pan), kembali digelar oleh masyarakat Tionghoa di berbagai daerah. Tradisi ini sarat makna, berakar dari budaya agraris kuno sekaligus diperkaya dengan ajaran Buddhisme tentang welas asih terhadap arwah kelaparan.

Asal-Usul Tradisi

Pada mulanya, sembahyang ini dilakukan oleh masyarakat agraris sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan dewa-dewa untuk memohon hasil panen yang melimpah. Seiring waktu, pengaruh ajaran Buddhisme melalui Festival Ullambana turut memberi warna baru. Dalam kepercayaan itu, diyakini bahwa pada bulan ketujuh penanggalan Imlek, pintu neraka terbuka dan arwah kelaparan (Preta) keluar mencari makanan.

Pelaksanaan Cioko atau Chit Nyiat Pan

Ritual Sembahyang Rebutan (Cioko/Chit Nyiat Pan) berlangsung khidmat di rumah maupun di kuil. Masyarakat mempersembahkan makanan, buah-buahan, hingga uang kertas sebagai bekal bagi para arwah, terutama arwah yang tidak memiliki keluarga.

Di kuil, para pendeta Tao biasanya memimpin doa dengan membacakan sutra serta melakukan ritual khusus untuk mendoakan arwah agar terbebas dari penderitaan. Usai prosesi, makanan persembahan dibagikan kepada fakir miskin sebagai wujud derma dan kepedulian sosial.

Catatan: Cioko berasal dari dialek Hokkian yang berarti “perebutan makanan persembahan”. Sedangkan Chit Nyiat Pan berasal dari bahasa Khek (Hakka) yang berarti tanggal 15 bulan 7 Imlek, yaitu hari puncak sembahyang arwah dalam tradisi Tionghoa.

Silaturahmi Pemerintah dan Mahasiswa di Istana Negara: Bangun Perspektif Bersama untuk Kemajuan Bangsa

Makna Filosofis

Tradisi ini bukan sekadar ritual, melainkan memiliki nilai luhur. Sembahyang Bulan 7 menjadi sarana untuk menghormati leluhur, menunjukkan belas kasih dengan memberi makan arwah kelaparan, sekaligus menjamu mereka yang tertindas.

Dengan demikian, Sembahyang Bulan 7 atau Cioko (Chit Nyiat Pan) tidak hanya dipahami sebagai warisan budaya dan keagamaan masyarakat Tionghoa, melainkan juga sebagai wujud nyata solidaritas sosial dan kepedulian kepada sesama.(red)

Disclaimer:  Artikel ini disusun untuk tujuan informasi dan edukasi budaya. Redaksi Mediagempita.com menghormati keberagaman keyakinan masyarakat dan tidak bermaksud mengarahkan pada praktik ibadah tertentu. Semua isi berita merujuk pada tradisi yang berkembang di masyarakat Tionghoa sebagai bagian dari warisan budaya dan sosial.

×
×