Jakarta, Mediagempita.com — Ketidakmampuan stasiun TV berita konvensional beradaptasi dengan gempuran teknologi digital makin memukul keberlangsungan bisnis mereka. Penurunan jumlah penonton, merosotnya pendapatan iklan, hingga kalah cepat dengan platform global menjadi tantangan serius yang tak bisa diabaikan.
Fenomena ini mencuat dalam pengukuhan pengurus Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) di University of Jakarta Internasional, Senin (30/6/2025). Diskusi bertema masa depan media massa tersebut menghadirkan Dosen Komunikasi FISIP Uhamka, Taufan Hariyadi; pengamat media digital, Rulli Nasrullah; serta praktisi komunikasi dan wartawan senior, Algooth Putranto.
Menurut Taufan, TV berita konvensional semakin sulit bersaing dengan media baru berbasis internet karena kontennya masih bersifat stickiness, hanya melekat di satu platform tanpa membuka ruang partisipasi penonton.
“Audiens sekarang itu agen spreadable. Mereka mau konten yang bisa disebarkan, didiskusikan, dikomentari, bahkan dimodifikasi — bukan hanya ditonton pasif,” tegas Taufan.
Senada, Rulli Nasrullah mengingatkan redaksi media konvensional untuk berani bertransformasi dalam memproduksi konten. Gaya kemasan lama tidak lagi relevan di tengah pola konsumsi publik yang serba dinamis.
“Banyak redaksi masih memakai pola lama. Padahal, kemasan konten di media baru harus lebih interaktif, ringkas, dan mudah dibagikan. Kalau tidak mau berubah, ya pasti ditinggalkan,” katanya menambahkan.
Perbedaan teknologi dan pola distribusi antara TV berita konvensional dengan platform internet membuat posisi TV berita kian tergerus. Perlahan tapi pasti, TV berita hanya menjadi second screen atau layar kedua bagi audiens, sekadar validasi informasi.
“Newsroom TV berita harus jadi hub distribusi yang terkoneksi ke semua platform digital. Budaya konvergensi, multikonten, dan multiplatform wajib diterapkan. Prinsipnya sederhana: if it doesn’t work mobile, it doesn’t work,” ujar Taufan.
Para pembicara sepakat, dikotomi media konvensional versus new media sudah usang. Keduanya harus saling menopang dalam satu ekosistem distribusi konten agar dapat menjangkau ceruk audiens yang lebih luas.
“Hari ini konten tak cukup hanya ditonton diam-diam. Harus bisa disebar, diubah, didiskusikan, bahkan dilahirkan ulang. If it doesn’t spread, it’s dead,” pungkas Taufan.
Taufan menekankan, semua pihak di industri media harus mulai bergerak bersama membangun budaya konvergensi dengan strategi distribusi lintas platform yang relevan dengan kebiasaan audiens masa kini. Ia berharap pelaku media konvensional tidak hanya bertahan, tetapi juga mampu menciptakan inovasi agar tetap dipercaya publik di era transformasi digital yang kian cepat.(red)