News
Beranda / News / Menjaga Marwah RRI Sebagai Mikrofon Republik

Menjaga Marwah RRI Sebagai Mikrofon Republik

AM Adhy Trisnanto, Ketua Dewan Pengawas LPP RRI.

Oleh: AM Adhy Trisnanto
Ketua Dewan Pengawas LPP RRI

Tujuh puluh enam tahun lalu, di forum PBB, Menteri Luar Negeri Belanda Van Kleffens merendahkan Indonesia dengan ejekan “Republik Mikrofon”. Sebuah sindiran yang lahir dari sejarah panjang perjuangan bangsa ini melalui gelombang radio.

Jumat, 17 Agustus 1945, pukul 19.00 WIB, di tengah penjagaan ketat Kempetai, Jusuf Ronodipoero dan Bachtar Lubis di Studio Hoso Kyoku Jakarta berhasil menyiarkan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Di Bandung, R.A. Darja dengan penuh wibawa mengucapkan: “Di sini Bandung, siaran radio Republik Indonesia”, diikuti pembacaan naskah proklamasi oleh Sakti Alamsjah. Di Surabaya, Supeno menyiarkannya dalam bahasa Madura untuk mengelabui penjajah. Dalam hitungan jam, kabar kemerdekaan tersiar ke seluruh penjuru negeri dan dunia—semuanya melalui mikrofon radio.

Itulah embrio Radio Republik Indonesia (RRI), media perjuangan yang mempersatukan rakyat dari Sabang sampai Merauke. Sejak kelahirannya 11 September 1945, para perintis seperti Dr. Abdulrachman Saleh, Adang Kadarusman, R.M. Soemarmadi, hingga R. Maladi menetapkan prinsip perjuangan yang dikenal sebagai Tri Prasetya RRI.

Radio Perjuangan

Sembahyang Bulan 7: Tradisi Tionghoa Penuh Makna, Dari Penghormatan Leluhur hingga Derma untuk Arwah

RRI bukan sekadar penyalur informasi, tetapi penggerak perlawanan. Bung Tomo di Surabaya membakar semangat rakyat melalui mikrofon RRI. Pemancar RRI menjadi target serangan musuh, namun selalu diamankan agar siaran tetap berlanjut. Monumen Radio Kambing di Surakarta dan Radio Rimba Raya di Aceh menjadi bukti sejarah peran vital RRI. Bahkan siaran luar negeri RRI kala itu membuka mata dunia tentang perjuangan Indonesia.

Penjaga Persatuan

Sejak masa revolusi hingga kini, RRI menjaga nilai integrasi bangsa yang majemuk. RRI mempengaruhi opini publik, mendorong rakyat tidak membantu musuh, dan melaporkan peristiwa penting. RRI juga mengembangkan seni dan budaya, dari pembentukan Orkes Simfoni Jakarta hingga pencarian bakat Bintang Radio yang melahirkan penyanyi legendaris.

Di dunia olahraga, RRI setia meliput dari PON I, Olimpiade, Asian Games, hingga Thomas Cup. Di bidang pembangunan masyarakat, program Siaran Pedesaan dan Kelompencapir bertahan tiga dekade, sementara sandiwara radio Butir-Butir Pasir di Laut mengedukasi masyarakat soal keluarga berencana.

RRI juga menjadi penggagas lomba tilawah Al Quran pertama di Indonesia (PTQ), bertahan hingga kini. Bahkan di masa sulit, seperti krisis Timor Timur 1999, RRI menjadi lembaga terakhir yang meninggalkan Dili.

Silaturahmi Pemerintah dan Mahasiswa di Istana Negara: Bangun Perspektif Bersama untuk Kemajuan Bangsa

Tetap Relevan di Era Digital

Di masa pandemi COVID-19, RRI menghadirkan siaran pendidikan Belajar di RRI dan Guru Keliling. Menjelang Pemilu 2024, RRI memprakarsai Gerakan Cerdas Memilih dan program Parlemen Menjawab untuk meningkatkan partisipasi politik warga.

Dengan jaringan 104 stasiun dan 205 stasiun relay yang menjangkau 91,19% wilayah Indonesia—termasuk 83,68% wilayah 3T—RRI dipercaya 92% masyarakat sebagai sumber informasi Pemilu 2024. Sebanyak 46,4% pendengar radio di Indonesia adalah pendengar RRI.

Menjaga Marwah Mikrofon Republik

Modal sejarah, jangkauan luas, dan tingkat kepercayaan tinggi menjadikan RRI tetap relevan. Marwah sebagai “Mikrofon Republik” harus dijaga, bukan hanya sebagai warisan sejarah, tetapi juga amanah untuk terus mempersatukan bangsa, menyuarakan kebenaran, dan menjadi penghubung dari pelosok hingga pusat kekuasaan.

AMKI Jateng: Kekerasan terhadap Jurnalis di Pati Adalah Alarm Serius bagi Demokrasi

Karena bagi RRI, mikrofon bukan sekadar alat, tetapi simbol perjuangan, persatuan, dan kedaulatan informasi Republik Indonesia.

Catatan Redaksi: Tulisan ini adalah opini penulis. Isi sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili sikap resmi redaksi Mediagempita.com.

×
×